Konsep Kedaulatan Dan Kekuasaan Menurut Jean Bodin Dalam Six Livres De La Republique
Jean Bodin (1529-1596) merupakan salah satu tokoh filsafat politik yang berasal dari Prancis. Ia pernah menjalani pendidikan sebagai calon iman, namun tidak tuntas. Pada sekitar tahun 1550’an, ia belajar tentang ilmu hukum di Universitas Tolouse. Akan tetapi, karena merasa kurang cocok dengan karirnya tersebut, Bodin kembali ke Paris dan masuk ke dalam dunia politik. Dalam karyanya di dunia politik inilah ia mulai menghasilkan berbagai pandangan tentang ilmu politik, ekonomi, ilmu hukum dan hukum publik. [1] Dari berbagai pandangan dan karya yang telah dihasilkannya, saya akan membahas salah satu tulisannya tentang politik dalam “Six Livres de la Republique”. Fokus bahasan dalam tulisan ini adalah konsep tentang kedaulatan dan kekuasaan.
Menurut Bodin, konsep kedaulatan menyangkut kekuasaan absolut dan berlangsung terus-menerus dalam sebuah negara[2] yang disebut majestas.[3] Konsep kedaulatan ini tidak memiliki artian yang sama dengan seseorang atau kelompok yang diberi wewenang untuk mengatur suatu wilayah tertentu dalam jangka waktu yang telah ditentukan meskipun memiliki wewenang untuk mengatur wilayah tersebut sesuai dengan kehendak mereka. Pribadi atau kelompok yang mendapatkan wewenang tersebut lebih tepat jika disebut sebagai seorang letnan, gurbernur atau agen pemerintahan. Sementara itu, pribadi yang memiliki kedaulatan sepenuhnya adalah pribadi yang senantiasa memiliki kekuasaan mutlak atas apa yang dimilikinya tanpa batas. Sebagai contoh adalah raja yang memiliki kekuasaan absolut di mana ia dapat memberikan wewenang kepada seorang prefektur atau menteri untuk mengatur wilayah atau bidang tertentu. Meskipun wilayah atau suatu bidang yang diberikan oleh raja kepada seseorang untuk dikuasainya, raja tetap memiliki kekuasaan mutlak atas apa yang telah diberikannya.[4]
Sementara itu, konsep kekuasaan diartikan sebagai wewenang yang dimiliki untuk memerintah atau mengatur bagian-bagian atau suatu wilayah tertentu dalam jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan. Kekuasaan tersebut berada dibawah kewenangan absolut seorang pribadi yang memberikan kewenangan yang lebih tinggi daripadanya, disebut juga sebagai seorang yang memiliki kedaulatan atau kekuasaan mutlak.
Dari berbagai pemahaman tersebut, tentunya dapat dilihat bahwa konsep kedaulatan memberikan suatu legitimasi atas kekuasaan absolut. Dalam pemahaman saya, saya melihat bahwa konsep kedaulatan secara terus terang menyetujui kekuasaan secara mutlak di mana seseorang yang berdaulat memiliki kewenangan sepenuhnya atas berbagai hal yang dimilikinya tanpa terbatas pada waktu. Bahkan ketika suatu wewenang diberikan kepada orang lain, status kepemilikan atau wewenang utama adalah tetap, yaitu sang pemberi wewenang. Seseorang yang berdaulat memiliki kekuasaan mutlak atas apapun yang dimilikinya tanpa berbatas waktu, bahkan jika wewenang atas kuasa itu didelegasikan kepada orang lain untuk diaturnya. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki kedaulatan tersebut bebas untuk mengatur jangka waktu ataupun mengambil alih kuasa atau wewenang yang telah diberikannya.
Hal ini akan memberikan dampak yang berbahaya bagi kemanusiaan apabila seseorang yang memiliki kedaulatan dan di dalamnya ada kuasa mutlak untuk bertindak sebagai seorang tiran atau diktator. Seorang tiran bebas untuk membuat aturan atau hukum sesuai dengan kehendak yang dimilikinya tanpa suatu ikatan yang membebaninya. Dengan kata lain, seorang tiran dapat menentukan apa yang diinginkannya meskipun harus mengorbankan orang lain demi kepentingan dirinya.
Contoh relevan yang saya ambil sesuai dengan konteks di Indonesia adalah keputusan melalui surat edaran dari KWI yang diketuai oleh Mgr. Ignasius Suharyo. Dalam suratnya, ia menghimbau agar semua imam yang melaksanakan perayaan ekaristi tidak mengedit atau memberikan variasi-variasi yang berlebihan atau yang tidak sesuai dengan TPE yang telah disetujui, sebagai contoh adalah perihal tentang ungkapan “injil Tuhan” yang semestinya harus diucapkan ”demikianlah Injil Tuhan”. Keputusan yang diberikan oleh dewan KWI adalah mutlak dan harus ditepati oleh setiap anggota yang berada di dalamnya. Meskipun pada dasarnya setiap keuskupan mendapat wewenang untuk mengatur keuskupannya sendiri, setiap imam paroki memiliki kewenangan untuk menggembalakan umatnya, mereka harus patuh terhadap ketentuan dan aturan yang berlaku (dan diberikan oleh atasannya) tanpa penolakan.
Sumber bacaan :
- Routledge Encyclopedia of Philosophy vol.1. ed. Edward Craig. London & New York: Routledge, 1998.
- Bodin, Jean. Six Books of the Commonwealth, trans. M.J. Tooley, Oxford: Basil Blackwell Oxford,______, p. 24-26. [diambil dari Liberty Library of Constitutional Classics]
<http://www.constitution.org/liberlib.htm>
- Copleston, Frederick. A History of Philosophy vol. III: Late Medieval and Renaissance Philosophy. New York: Doubleday, 1993.
- Hardiman, Budi. Filsafat Politik: Silabus 2016. Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. 2016.